Hidup adalah jalan panjang yang penuh persimpangan, di mana setiap langkah manusia menjadi cermin dari pertarungan akal dan hati. Dalam ruang keberagaman yang kerap menjadi arena perdebatan, manusia sering lupa bahwa dirinya hanyalah sebutir debu dalam tarian semesta. Puisi ini mengajak kita merenung: adakah kita berjalan dengan cinta yang lembut atau dengan angkuh yang membakar? Adakah kita melihat dunia sebagai ruang konflik, ataukah sebagai media di mana Tuhan menampakkan wujud-Nya dalam setiap transfigurasi?
Aroma kekasih semerbak tak usai-usai
Damai di dada tempat teduh yang rindang.
Di bawah rimbun iman yang kekal,
Melihat jalan-jalan setapak kian gersang.
Orang-orang berdesakan, berkeringat, dan saling tikam.
Akal mereka dangkal, mata mereka tertutup tirai,
Hal receh mereka perdebatkan saling menghinakan.
Jalan- jalan setapak semakin gersang
Terik panas begitu kencar menampar
Tak ada air, tak ada pepohonan,
Kerongkongan mereka kering, mata mereka memerah,
Angkuh mendorongnya agar tak mau kalah.
Perdebatan seketika bukan mencari jalan kebenaran,
Tetapi kalah dan menang menjadi tujuan.
Nampaknya, akal lebih penting daripada hati.
Hati yang selalu terhubung, menanggung kerinduan,
Menyimpan cinta yang selalu memabukkan,
Kepada kekasih sang penolong tanpa pamrih.
tatkala keyakinan tak menjadi perseteruan
kita dan mereka semua adalah kesatuan.
Namun inilah kehidupan,
Dimana keberagaman lebih indah dari keseragaman,
Karena hati adalah ladang yang luas dan bebas.
Kehati-hatian perlu diutamakan dalam mengkaji perasaan,
Sebab manusia kadang diam dalam kebuasan,
Perasaan terbang tinggi dengan liar
Tanpa aba-aba dan tanda, wujudnya selalu tiba-tiba.
Tak ada yang dapat mengendalikan selain kekuasaan-nya.
Jalan-jalan akan terus gersang
Yang memahaminya akan berlarian dengan senyuman
Sedang yang angkuh akan terus berdesakan dan saling tikam.
Dan segalanya tak perlu disalahkan
Karena alam dunia ini,
Adalah media transfigurasi Tuhan.
Candi, 14 Juli 2025.
Pada akhirnya, setiap jalan—meski gersang dan berdebu—adalah undangan untuk kembali kepada-Nya. Alam semesta ini bukan semata tempat tinggal, tetapi laboratorium ilahi yang menyaring cinta, ego, dan iman manusia. Seperti yang diguratkan dalam puisi ini, barangkali tak perlu menyalahkan siapa pun, sebab semua yang kita jumpai hanyalah manifestasi dari Sang Pencipta yang tengah menyingkapkan diri-Nya. Kita hanya pejalan, dan dunia hanyalah media transfigurasi Tuhan.
Afif kbr: Nama pena dari AFIF KHAZIN BATRONI. Ia seorang penulis dalam bidang puisi, karyanya dapat ditemukan di channel youtube-nya @afif kbr. Dia aktif di sanggar lam alif dan sanggar dhamar. Lahir di ujung timur pulau Madura tepatnya di desa candi kecamatan dungkek kabupaten sumenep.
Penulis : Roni
Editor : Soemarda Paranggana
Sumber Berita: Redaksi






